Kaya Dari Rumah

Seakan ada dua kubu ketika kita bicara tentang kaya.

Menurut kubu yang satu, untuk mencapai kekayaan diperlukan mimpi yang setinggi-tingginya, tujuan yang jelas, strategi yang terukur, dan kekuatan kemauan yang pantang mundur. Setiap keinginan, mimpi, ataupun tujuan harus tertulis, divisualisasikan sedemikian rupa, dan diinternalisasikan hingga merasuk ke dalam jiwa. Tanpa mimpi, kita tidak akan menjadi apa-apa.
Sementara kubu yang lain mengatakan, bahwa kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati, bukan materi. Yang diraih bukan dari pencapaian mimpi-mimpi, tetapi dari ketiadaan keinginan itu sendiri. Karena kaya yang sesungguhnya adalah ketika segala keinginan tidak memperbudak kita. Entah harta, tahta, wanita, ataupun …. (lho, “ta” yang satu lagi apa ya ? hehe, lupa…)

Yang satu menganggap kemerdekaan manusia ketika dia bisa memiliki segala keinginannya. Yang lain memandang kemerdekaan sesungguhnya adalah ketika kita merdeka dari keinginan yang tak berhingga.

Seakan ada dua kubu, yang satu di kutub selatan yang lain di kutub utara.

Lalu keduanya di lapangan seakan saling menafikan satu sama lain. Loe salah, gue bener. Padahal bumi terdiri dari dua kutub yang berbeda. Dan pada kedua ujungnya saling memberi makna.

Mimpi, harus diakui adalah sebuah kekuatan yang sulit tertandingi. Ketika mimpi benar-benar tervisualisasi dan terinternalisasi, seluruh ruang akal dan gerak kita berpacu menuju sang mimpi. Tak heran begitu banyak kisah sukses dimulai dari sebuah mimpi.

Masalahnya, barangkali, terletak pada rentang waktu : mimpi untuk saat ini, atau hari nanti. Untuk dunia nan fana ini, atau dunia akhirat nan hakiki. Karena ketika mimpi hanya terbatas untuk saat ini, kadang hati memang jauh dari lapang. Obsesi pada target omzet dan laba, kerisauan atas gerak-gerik pesaing, ketidaknyamanan atas keberhasilan orang lain, dan seterusnya… semua hal yang sesungguhnya baik justru bisa berpotensi menjadi kerikil-kerikil dalam hati.

Namun saat mimpi melangit begitu tinggi hingga di hari akhir nanti, rasa sempit di dada seakan ikut melayang dan hati menjadi tenang nan lapang. Target omzet dan laba tetap jauh berdigit-digit, tapi serasa ringan karena dikejar demi mereka yang jauh lebih membutuhkan dari diri sendiri. Agresivitas pesaing menjadi anugrah tak terperi, karena sejatinya kita tidak akan cepat berlari jika tidak ada mitra seperti para pesaing tercinta ini. Kesuksesan orang lain menjadi berita gembira dan pemacu langkah kaki, bukan untuk iri apalagi dengki.

Kedua kubu adalah sahabat kita. Yang satu memacu kita, yang lain memerdekakan kita. Yang satu mendorong maju kita, yang lain melapangkan hati dan meringankan kaki kita.

Setidaknya, itulah menurut saya dengan segala keterbatasannya.

Bagaimana dengan Anda ?


Salam Kaya Dari Rumah.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama